Sumber : Marhenpress
Mahalnya biaya pendidikan tinggi di Indonesia saat ini tentu tak bisa dilepaskan dari perubahan demi perubahan dari orientasi pendidikan itu sendiri. Pergeseran orientasi Pendidikan tentu tak bisa di lepaskan dari kodisi ekonomi politik dan rezim yang berkuasa. Hal ini bisa kita lihat lewat metode materialisme historis dari Pendidikan yang terjadi hingga saat ini.
Di zaman kolonial kita tentu tahu pendidikan di perkenalkan belada sebagai alat politik untuk melangengkan kekuasaanya. Lewat “politik etis” belanda memperkasai akses pendidikan hanya untuk kalangan priyayi (golongan bangsawan), yang artinya pendidikan yang di perkenalkan belanda tidak serta merta dalam rangka mencerdaskan masyarakat pribumi secara menyeluruh. Masifnya industrialisasi belanda waktu itu membuat Pendidikan menjadi salah satu alat monopoli yang di lakukan. Industrialisasi besar-besaran membuat belanda membutuhkan orang-orang ahli yang terdidik, yang menjadikan orang-orang pribumi di cetak untuk memenuhi kebutuhan pemerintah belanda lewat jalur pendidikan, yang artinya belanda tak perlu lagi mendatangkan orang-orang berupah mahal dari negaranya.
Di era pasca kolonial, atau di era rezim orde lama di bawah kepemimpinan Soekarno, Pendidikan di jadikan sebagai dasar pembangunan negara, yang artinya pendidikan haruslah sesuai dengan amanat dan cita-cita kemerdekaan bangsa. Dengan basis gotong royong dan ber-perikeadilan pendidikan menjadi akses yang sangatlah bebas dan terbuka bagi siapapun. Soekarno berusaha mematahkan stigma bahwa pendidikan sangat elitis yang sebelumnya di bangun di era kolonial belanda.
Setelah rezim Soekarno lengser lewat berbagai pertarungan politik dan di gantikan oleh rezim bertangan besi di bawah kepemimpinan Soeharto. Indonesia mengalami berbagai dampak buruk yang sampai saat ini terus kita rasakan. Di era rezim Soeharto tak hanya akses ruang gerak masyarakat yang di batasi namun juga sistem politik, ekonomi dan juga pendidikan kita juga mengalami gelap peradaban. Puncaknya pada tahun 1995 Indonesia menyepakati menjadi anggota dari World Trade Organization (WTO) dengan diratifikasinya semua perjanjian-perjanjian perdagangan multilateral menjadi UU No, 7 tahun 1994. Secara tidak langsung pemerintah indonesia harus tunduk dan menerima program-progam dari tangan kanan imperealisme tersebut.
Perjanjian dengan WTO tersebut mengatur terkait tata-perdagangan barang dan hak atas kepemilikan yang meliputi beberapa sektor. Sektor primer yang mencakup semua industri terkait hasil pertambangan dan pertanian. Sektor sekunder yang mencakup industri untuk mengolah bahan dasar menjadi barang, bangunan, produk manufaktur dan utilities. Dan sektor tersier yang mencakup industri-industri untuk mengubah wujud benda fisik, keadaan manusia dan benda simbolik. Hal tersebut tentunya sejalan dengan tujuan ekonomi yang di ususng WTO yang menetapkan pendidikan sebagai salah satu industri sector tersier. Karena dalam kegiatan pokoknya adalah mentransformasi orang yang tidak berpengetahuan menjadi orang berpengetahuan.
Secara umum kondisi pendidikan Indonesia saat ini mulai dari sekolah dasar sampai pendidikan tinggi, sangat memprihatinkan. Sebagai negara yang memiliki 210 juta penduduk dengan tingkat partisipasi pendidikan tinggi hanya 14 persen dari jumlah penduduk pada usia 19-24 tahun, Indonesia tentu menjadi magnet incaran negara-negara ekportir jasa pendidikan dan pelatihan. Karena perhatian pemerintah sendiri terhadap bidang pendidikan sangatlah rendah. Hal tersebut telah membuat para pemilik pemodal masuk di sektor Pendidikan, yang akhirnya muncul banyak komersialisasi besar-besaran di sektor Pendidikan. Hal ini tentu akan semakin mengerus nilai subtansi dari penddikan itu sendiri, karena bagaimanapun watak pemilik modal adalah untung dan untung. Di lain itu kemampuan rakyat untuk mendapat hak atas pendidikan yang layak juga menjadi semakin sulit akibat semakin mahalnya biaya Pendidikan itu sendiri ini.
Persoalan-persoalan mengenai Pendidikan tentunya memiliki korelasi di banyak sector yang saling mempengaruhi hingga membuat semacam transformasi orientasi. Salah satu yang dapat kita lihat hasilnya saat ini ialah dinamika regulasi Pendidikan, terutama pendidikan tinggi, yang senantiasa bergerak secara nyata menuju liberalisasi (mengarah pada privatisasi, kepentingan investasi). Hal tersebut tentu bertolak dengan Amanah Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) bahwa: “Setiap warga negara berhak mendapat Pendidikan yang layak. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”.
Hal tersebut yang seharusnya menjadi landasan tangung jawab negara dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia melalui sektor pendidikan dan bukan malah kemudian negara melepas tanggung jawabnya atas pendidikan, yang pada akhirnya hal tersebut akan mengeser subtasnsi dari nilai-nilai Pendidikan itu sendiri. Hal itu yang kemudian akan mengarahkan pendidikan kepada kepentingan dari pemilik modal semata. Dengan itu kurikulum yang diterapkanpun juga tidak akan jauh dari tujuan pemilik modal, dan yang paling buruk yang secara objektif bisa kita lihat hingga saat ini, adalah mengenai kurikulum yang dijalankan kian sempit yang hanya mengarah dan memberikan ruang transpormasi ide dan kebudayaan dari si pemilik modal yang jelas-jelas sangat jauh dari kondisi objektif relaitas hidup masyarakyat saat ini.
Melihat bagaimana dampak pergeseran orientasi pendidikan yang hari ini bisa kita lihat, bahwa sama sekali tidak ada riset ataupun gerakan yang mendukung secara objektif mengenai permaslahan-permasalah rakyat hari ini, maslah-masalah buruh, perampasan ruang hidup, atau riset-riset mengenai mahalnya pupuk dan harga jual panen rendah dari petanipun hampir tak pernah tersentuh sedikitpun, kebanyakan hanya program-program pragmatis yang merupakan pesanan dari pemilik modal yang di legitimasi oleh birokrasi melalui kurikulum dan dikuatkan melalui peraturang per-undang-undangan yang ada. Hal tersebut setidaknya menjadi bukti jika dikajii lebih dalam melalui studi fenomenologi, atau pengkajian longitudinal (jangka panjang). Secara objektif, maka hasilnya bisa kita lihat sekarang, dimana tidak ada hasil signifikan yang dihasilkan institusi pendidikan.
Kondisi Pendidikan hari ini perparah dengan di sahkanya Undang-Undang Omnibus Law pada 5 oktober 2020 lalu, dimana dalam UU Omnibus Law tersebut menghapus beberapa pasal dalam undang-undang No 20 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan undang-undang No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU PT). Seperti pada pasal 53 UU Sisdiknas dan pasal 60 UU PT yang berbicara tentang kewajiban institusi pendidikan harus bersifat nirlaba, yang kemudian diubah tidak berkewajiban berprinsip nirlaba. Ini artinya Pendidikan akan menjadi sebuah alat bagi para pemodal untuk mencari keuntungan semata. Kemudian dalam pasal 67-69 UU Sisdiknas, mengenai hukuman pidana bagi pemalsuan ijazah, gelar dan penyelenggara pendidikan tinggi yang sudah dinyatakan tutup, akan dihapus dalam UU Omnibus Law. Ini tentu sangat ironis, karena secara tidak langsung negara akan melegitimasi kejatahatan dalam dunia dunia Pendidikan kita kedepan.
Kampus Merdeka, yang dikeluarkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (KemenDikBud) Nadiem Makarim di bawah rezim Jokowi ternyata hanya sekedar jargon yang tak jauh beda dari yang sebelumnya. Kampus merdeka yang memberi keluasan mahasiswa untuk belajar di luar kampus sehingga dapat memperkaya keilmuan serta sebagai uji praktek dari keilmuan, yang ternyata hanya sebuah pengemasan secara rapi dari orientasi pendidikan tinggi untuk melayani industri dan kebutuhan pasar yang lagi-lagi ini demi kepentingan pemilik modal. Dan tentunya ini sejalan dengan misi Rezim Jokowi yang terang-terangan mengatakan mendatangan investor asing secara besar-besaran ke Indonesia. Hal ini juga di perkuat lagi dalam UU Omnibus Law No. 12 tentang Pendidikan dan kebudayaan pasal 65 ayat 1, yakni “bahwa pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui perizinan berusaha”. Keberadaan pasal ini tentunya semakin memperjelas bahwa rezim Jokowi menempatan pendidikan kita sebagai barang komoditas yang bisa diperdagangkan secara bebas.
Dalam sejarahnya Pendidikan di Indonesia memang hanyalah sebuah alat dalam suatu sistem untuk kepentingan modal dan melangengkan kekuasaan. Tendensi pendidikan sama sekali tidak mencerminkan bahwa Pendidikan kita ialah proses mendidik, memberikan pengetahuan dan menyelesaikan masalah terhadap kondisi objektif yang ada. Hingga saat inipun Pendidikan kita tak banyak mengalami orientasi perubahan yang singnifikan. Hanya sebuah kamuflase yang bila di lihat dari luar akan terkesan lebih menarik. Betapa menyedihkanya kondisi Pendidikan di Indonesia saat ini, orientasi pendidikan sudah seharusnya di kembalikan sesuai dengan amanah UUD 1945 yang menyatakan bahwa pendidikan adalah salah satu tujuan dari negara Indonesia guna mencerdaskan kehidupan bangsa, dan juga sesuai dalam pasal 31 UUD 1945 hasil amandemen, yang menyatakan bahwa pendidikan merupakan hak yaag dimiliki oleh setiap warga negara Indonesia dan negara wajib membiayainya.
Pendidikan yang merupakan proses memanusiakan manusia secara manusiawi harus di arahkan secara utuh ke arah kemerdekaan lahiriah dan batiniah. Berangkat dari itulah pendidikan sudah seharusnya di kembalikan kepada hal-hal yang bersentuhan langsung dengan upaya-upaya konkret terhadap penyelesaian problematika masyarakat hari ini.Karena dasar pendidikan sendiri merupakan sarana untuk menjawab problematika dalam masyarakat, bukan malah menjadi sebuah instansi yang mejauhkan dari persoalan masyarakatdan justru menjadi alat untuk kepentingan beberapa golongan semata.
Penulis : Bambang Aditya Mahasiswa Jurusan KPI